Studi hukum kritis (critical legal studies) merupakan sebuah studi yang relatif baru dalam perkembangan pemikiran hukum (kira-kira dimulai tahun 1970-an). Studi ini dinisiasi oleh sekolompok pakar Hukum di Amerika Serikat dimana mereka berusaha menempatkan hukum dalam sorotan berbagai aspek, entah politik, ekonomi, budaya, bahasa maupun pendekatan kajian sosial lainnya. Dalam perkembangannya, studi ini telah menjadi aliran tersendiri dalam pemikiran hukum dengan bumbu berbagai variannya. Namun, menurut Prof Soetandyo Wignyosoebroto secara keseluruhan pemikiran-pemikiran di dalamnya terbentuk sebagai reaksi atas kebekuan formalisme hukum dimana aparatus hukum melihat fakta hukum semata-mata sebagai persoalan menerapkan pasal-pasal undang-undang, sementara persoalan empiris yang menyangkut kepekaan terhadap latar belakang sosial-budaya, kondisi politik, ekonomi dan sebagainya justru luput dari perhatian (Soetandyo: 2002, 76-82). Ambil contoh, orang miskin yang lapar kemudian mencuri roti di toko dijatuhi sanksi yang sama dengan koruptor kaya raya yang memakan uang negara milyaran rupiah. Pada tingkat masyarakat, merebak gejala apatisme sosial terhadap praktek-praktek pelanggaran hukum yang ada di depan mata. Misalnya, perampokan dalam sebuah rumah persis depan batang hidung tetangga dianggap semata-mata sebagai urusan polisi. Singkatnya, formalisme membuat masyarakat sedemikian percaya bahwa hukum dan aparat penegaknya akan menyelesaikan segala perkara dengan netral, mengikuti prosedur yang ada dan memenuhi kebutuhan akan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Di Indonesia, formalisme ternyata menunjukkan banyak kontradiksi. Salah satunya adalah konsep tentang penegakan hukum. Dalam formalisme, hukum dan penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada kekeliruan di dalamnya. Kita, misalnya, kerap mendengar aparat hukum yang menyatakan bahwa aparat telah bertindak sesuai prosedur. Artinya, dengan bertindak sesuai prosedur maka keadilan telah terpenuhi. Namun, di seberang sana, begitu banyak orang berteriak minta tolong datangnya keadilan. Keadilan yang banyak orang harapkan, justru berubah menjadi ketidakadilan ganda. Studi bank dunia terhadap hukum dan keadilan masyarakat di tingkat lokal di Indonesia yang dipublikasikan tahun 2004 yang lalu, misalnya, memperlihatkan praktek perang terhadap korupsi tidak hanya ditujukan terhadap pelaku kejahatan tetapi paling rumit justru pada penyelesaian (prosedur) secara hukum yang berhubungan dengan aparat negara. Joke “lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan kerbau” sungguh-sungguh terjadi.
Kejahatan yang terus berulang seperti korupsi, selain bentukan faktor sosial, ekonomi dan variable berpengaruh lainnya, sebetulnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kesalahan formalisme yang menempatkan aparat dan prosedur hukum sedemikian sakralnya. Sehingga, penyembuhan kejahatan seolah-olah sebanding dengan aparat yang mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Tidaklah mengherankan jika kontrol terhadap mekanisme penegakan hukum masih sangat minim. Padahal wilayah itu adalah garis depan yang mempertemukan sisi gelap manusia dengan kebaikannya. Disanalah perang penegakkan hukum yang sesungguhnya: antara keinginan untuk sungguh menjadikan prosedur hukum sebagai salah satu alat menggapai keadilan dengan dorongan untuk menjadikannya sebagai jembatan mendapatkan keuntungan perut sendiri.
Senin, 03 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar