Senin, 17 Mei 2010

Journal tanggal 11 Mei 2010

Hukum Sebagai Mekanisme Pengintegrasian
• Teori sibenertika Talcott Parson : sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan.
• Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
• Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasinya.
• Hukum dalam kehidupan sistem sosial seharusnya hukum mennjadi sub sistem yang menentukan.
• Salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Hukum dan Politik
• Struktur Sosial membentuk kofigurasi lembaga kemasyarakatan
• Hukum dan politik berupaya menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasi lembaga kemasyarakatan.
• Supremasi hukum : hukum menjadi hal yang berpengaruh.
• Salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.

Daniel S. Lev.:
Politik adalah lembaga yang primer dan hukum sebagai ariabel yang mengikuti (ex : kehidupan negara berkembang/ negara bekas jajahan).

Tiga Tipe Hukum
Hukum Responsif
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.


Hukum otonom
• Merupakan reaksi menentang keterbukaan yang serampangan.
• Tertib hukum digunakan untuk menjinakkan represi.
• Pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan bukan berdasarkan orang.
• Hukum terpisah dari politik, tertib hukum dan prosedur hukum adalah jantung dari hukum. Ahli hukum menjauhkan diri dari pembentukan kebijakan publik.


Hukum respresif
• Merupakan suatu tahapan evolusi yang lebih tinggi dibanding hukum represif dan otonom.
• Ditandai adanya kapasitas yang yang bertanggungjawab (selektif dan tidak serampangan).
• Merupakan bentuk dari reaalisme hukum yang responsif terhadap kebutuhan sosial, tidak sekedar mempertahankan prosedur hukum

Senin, 10 Mei 2010

Pluralisme Hukum

Journal tanggal 4 Mei 2010

Pluralisme Hukum
1.Memberikan penjelasan terhadap kenyataan adanya keteraturan atau tertib social (social order) yang sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order) yang diproduksi oleh negara.

2.Pluralisme Hukum:pandangan bahwa dalam dunia pragmatis (lapangansosial) sedikitnya dua sistem norma atau dua sistem aturan terwujud dalam interaksi sosial

3.legal pluralism: weak legal pluralism, danstrong legal pluralism.


Strong Legal Pluralism
Pluralisme hukum yang kuat, merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat disemua(kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada di pandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain (Griffiths)


Weak Legal Pluralism
• Pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralism hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki dibawah hukum negara(Griffiths)
• Dominasi satu sistem hukum (state law) terhadap sistem hukuml ain
• Hirarkhi satu sistem hukum (state law)lebih tinggi dari sistem hukum lain;
• Jika terjadi benturan antar sistemhukum, state law yg lebih diutamakan;
• Analisis & penggambaran sistem hukum asli akan dilakukan menurut sistem (hukum) nasional


Pengalaman Legislasi & Lapangan

1.UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA
2. Konflik nurial hutan
3. konflik hak ulayat


SitusiGerakanPluralismeHukumHariIni

•Pertama, sebagai pisau analisa untuk memahami realitas hukum.
•Kedua,sebagai argument ataupun pendukung argument untuk menyusun kritik dan tuntutan, dan
•Ketiga, pluralisme hukum juga dijadikan sebagai tuntutan

Senin, 03 Mei 2010

STUDI HUKUM KRITIS

Studi hukum kritis (critical legal studies) merupakan sebuah studi yang relatif baru dalam perkembangan pemikiran hukum (kira-kira dimulai tahun 1970-an). Studi ini dinisiasi oleh sekolompok pakar Hukum di Amerika Serikat dimana mereka berusaha menempatkan hukum dalam sorotan berbagai aspek, entah politik, ekonomi, budaya, bahasa maupun pendekatan kajian sosial lainnya. Dalam perkembangannya, studi ini telah menjadi aliran tersendiri dalam pemikiran hukum dengan bumbu berbagai variannya. Namun, menurut Prof Soetandyo Wignyosoebroto secara keseluruhan pemikiran-pemikiran di dalamnya terbentuk sebagai reaksi atas kebekuan formalisme hukum dimana aparatus hukum melihat fakta hukum semata-mata sebagai persoalan menerapkan pasal-pasal undang-undang, sementara persoalan empiris yang menyangkut kepekaan terhadap latar belakang sosial-budaya, kondisi politik, ekonomi dan sebagainya justru luput dari perhatian (Soetandyo: 2002, 76-82). Ambil contoh, orang miskin yang lapar kemudian mencuri roti di toko dijatuhi sanksi yang sama dengan koruptor kaya raya yang memakan uang negara milyaran rupiah. Pada tingkat masyarakat, merebak gejala apatisme sosial terhadap praktek-praktek pelanggaran hukum yang ada di depan mata. Misalnya, perampokan dalam sebuah rumah persis depan batang hidung tetangga dianggap semata-mata sebagai urusan polisi. Singkatnya, formalisme membuat masyarakat sedemikian percaya bahwa hukum dan aparat penegaknya akan menyelesaikan segala perkara dengan netral, mengikuti prosedur yang ada dan memenuhi kebutuhan akan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Di Indonesia, formalisme ternyata menunjukkan banyak kontradiksi. Salah satunya adalah konsep tentang penegakan hukum. Dalam formalisme, hukum dan penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada kekeliruan di dalamnya. Kita, misalnya, kerap mendengar aparat hukum yang menyatakan bahwa aparat telah bertindak sesuai prosedur. Artinya, dengan bertindak sesuai prosedur maka keadilan telah terpenuhi. Namun, di seberang sana, begitu banyak orang berteriak minta tolong datangnya keadilan. Keadilan yang banyak orang harapkan, justru berubah menjadi ketidakadilan ganda. Studi bank dunia terhadap hukum dan keadilan masyarakat di tingkat lokal di Indonesia yang dipublikasikan tahun 2004 yang lalu, misalnya, memperlihatkan praktek perang terhadap korupsi tidak hanya ditujukan terhadap pelaku kejahatan tetapi paling rumit justru pada penyelesaian (prosedur) secara hukum yang berhubungan dengan aparat negara. Joke “lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan kerbau” sungguh-sungguh terjadi.

Kejahatan yang terus berulang seperti korupsi, selain bentukan faktor sosial, ekonomi dan variable berpengaruh lainnya, sebetulnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kesalahan formalisme yang menempatkan aparat dan prosedur hukum sedemikian sakralnya. Sehingga, penyembuhan kejahatan seolah-olah sebanding dengan aparat yang mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Tidaklah mengherankan jika kontrol terhadap mekanisme penegakan hukum masih sangat minim. Padahal wilayah itu adalah garis depan yang mempertemukan sisi gelap manusia dengan kebaikannya. Disanalah perang penegakkan hukum yang sesungguhnya: antara keinginan untuk sungguh menjadikan prosedur hukum sebagai salah satu alat menggapai keadilan dengan dorongan untuk menjadikannya sebagai jembatan mendapatkan keuntungan perut sendiri.

Empat Teori Penting Dalam Sosiologi

Teori Struktural Fungsional
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.


Teori Konflik
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori structural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan social. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis. A. Coser dan Ralf Dahrendorf


Teori Interaksi Simbolik
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism.
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.
Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.


Teori Pertukaran Sosial
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.